Banua Tv, Samarinda – Upaya menekan angka kematian akibat kanker serviks di Indonesia terus menjadi perhatian banyak pihak, termasuk kalangan legislatif.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, dr. Andi Satya Adi Saputra, soroti serius terhadap tingginya jumlah korban yang meninggal dunia akibat penyakit kanker serviks di Indonesia.
Ia mendorong diterapkannya inovasi dalam metode deteksi dini yang lebih mempertimbangkan kenyamanan serta privasi perempuan.
Sebagai dokter spesialis kandungan sekaligus legislator muda, dr. Andi Satya menilai salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan deteksi dini kanker serviks adalah ketidaknyamanan perempuan terhadap metode pemeriksaan yang selama ini digunakan.
Metode konvensional umumnya menggunakan alat medis berupa spekulum atau dikenal di masyarakat sebagai “cocor bebek” untuk mengambil sampel dari leher rahim. Meskipun efektif secara klinis, prosedur ini sering kali dianggap invasif dan mengganggu kenyamanan, terutama bagi perempuan yang belum menikah.
“Banyak perempuan merasa malu atau tidak nyaman dengan pemeriksaan seperti ini. Ada anggapan bahwa prosedurnya terlalu terbuka dan melanggar privasi, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya memilih untuk tidak melakukan skrining sama sekali,” jelas dr. Andi.
Ia mengusulkan agar Dinas Kesehatan Kalimantan Timur mempertimbangkan penggunaan metode baru yang lebih praktis dan tidak invasif, yaitu pemeriksaan melalui sampel urine.
Menurutnya, tes urine untuk mendeteksi Human Papilloma Virus (HPV) penyebab utama kanker serviks merupakan inovasi yang mampu mengatasi hambatan psikologis dan kultural dalam pelaksanaan skrining.
“Tes ini cukup sederhana. Perempuan hanya perlu buang air kecil dan menampung urinenya dalam wadah khusus. Sampel tersebut kemudian diperiksa dengan alat khusus untuk mendeteksi keberadaan HPV. Tidak perlu prosedur yang rumit, tidak menyakitkan, dan yang paling penting, menjaga privasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, dr. Andi menegaskan metode berbasis urine tidak hanya memberi kenyamanan lebih, tetapi juga berpotensi memperluas cakupan skrining kanker serviks secara nasional. Sebab, pemeriksaan ini tidak memerlukan fasilitas klinis yang kompleks atau tenaga medis terlatih dalam jumlah besar. Hal ini menjadikannya sebagai pilihan ideal untuk diterapkan di daerah-daerah terpencil, pedesaan, serta wilayah yang minim akses terhadap layanan kesehatan.
“Dengan pendekatan ini, kita bisa menjangkau lebih banyak perempuan. Pemeriksaan bisa dilakukan di rumah, tidak bergantung pada keberadaan klinik atau rumah sakit. Ini sangat mendukung program kesehatan masyarakat berbasis komunitas,” tambahnya.
Berdasarkan data yang disampaikan, sekitar 36.633 perempuan di Indonesia terdiagnosis kanker serviks setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, hampir separuh atau sekitar 18 ribu meninggal dunia. Angka ini disebut dr. Andi sebagai kondisi yang sangat memprihatinkan dan membutuhkan intervensi serius dalam bentuk kebijakan preventif yang efektif.
Ia juga menyampaikan bahwa penting bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan, untuk membuka ruang bagi inovasi-inovasi semacam ini agar skrining kanker serviks dapat dilakukan secara lebih luas, inklusif, dan tidak menimbulkan stigma di kalangan masyarakat.
“Jika kita ingin membangun masyarakat yang sehat dan kuat, maka kita harus mulai dari perempuan. Kesehatan perempuan adalah fondasi utama bagi kesehatan keluarga secara keseluruhan. Karena itu, segala upaya untuk melindungi mereka dari penyakit yang mematikan seperti kanker serviks harus kita dukung bersama,” pungkasnya dengan penuh keyakinan.
Melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan ramah terhadap nilai-nilai budaya serta privasi individu, dr. Andi Satya berharap stigma yang selama ini melekat pada pemeriksaan kanker serviks dapat berangsur hilang. Inovasi seperti tes urine ini, menurutnya, bukan hanya terobosan dari sisi teknologi kesehatan, tetapi juga langkah penting dalam menciptakan sistem pelayanan kesehatan yang lebih adil dan merata.