Banua Tv, Samarinda – Perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perlindungan perempuan dan anak di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) di Kalimantan Timur, ditegaskan penting oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud.

Hal ini disampaikannya setelah gelaran forum diskusi bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, yang digelar di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Dalam pernyataannya, Hasanuddin sampaikan kondisi geografis dan sosial wilayah 3T tidak bisa disamakan dengan daerah yang lebih maju, khususnya perkotaan.
Menurutnya, berbagai kendala seperti terbatasnya infrastruktur, sulitnya akses layanan publik, keterbatasan anggaran, serta rendahnya ketersediaan sumber daya manusia, menjadikan wilayah-wilayah tersebut memerlukan pendekatan khusus dalam upaya perlindungan perempuan dan anak.
“Tidak bisa disamakan begitu saja. Penanganannya harus kontekstual, menyesuaikan dengan kondisi lokal. Apa yang berhasil di kota belum tentu bisa diterapkan begitu saja di pedalaman atau perbatasan,” ujar Hasanuddin yang akrab disapa Hamas.
Ia menjelaskan, perbedaan mendasar tersebut menyebabkan bentuk intervensi dari pemerintah pusat harus lebih spesifik, agar program perlindungan tidak berhenti di atas kertas.
Menurutnya, pendekatan yang sensitif terhadap budaya dan kondisi geografis lokal sangat penting agar program yang dirancang benar-benar menjangkau sasaran yang membutuhkan.
Lebih lanjut, Hamas juga mengungkapkan, pemerintah pusat melalui Kementerian PPPA telah menyiapkan dukungan dana khusus untuk membantu penguatan program perlindungan perempuan dan anak di wilayah 3T. Informasi itu disampaikannya setelah mendapatkan konfirmasi langsung dari Menteri PPPA.
Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan langkah yang sangat positif, meskipun ia menekankan bahwa pelaksanaan di lapangan harus diawasi ketat agar tidak terjadi penyimpangan.
“Saya sudah sampaikan dan tadi langsung ditanggapi oleh Ibu Menteri. Pemerintah pusat sudah mengalokasikan anggaran khusus untuk wilayah 3T. Tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan bisa dipastikan tepat sasaran dan tidak melenceng,” jelasnya.
Hasanuddin menyebutkan bahwa sedikitnya tujuh kabupaten di Kalimantan Timur telah diidentifikasi untuk menerima dukungan dana tersebut.
Meskipun belum merinci nama-nama kabupaten secara eksplisit, ia menegaskan bahwa daerah-daerah itu merupakan wilayah dengan keterbatasan infrastruktur, akses pelayanan publik yang terbatas, dan rentan terhadap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sebagai Ketua DPRD Kaltim, ia menyampaikan komitmen kuat lembaganya untuk ikut mengawasi secara aktif pelaksanaan program tersebut di lapangan.
Ia menegaskan bahwa DPRD akan mendorong setiap elemen pelaksana agar dana dan kebijakan dari pusat benar-benar menyentuh kelompok sasaran yang selama ini paling rentan.
“Kami di DPRD tidak akan tinggal diam. Ini menyangkut masa depan generasi kita. Jangan sampai program-program ini hanya berjalan baik di tingkat pusat, tetapi tidak terasa sampai ke kampung-kampung yang benar-benar membutuhkan perlindungan,” ujarnya tegas.
Selain menyoroti peran pemerintah, Hamas juga menggarisbawahi pentingnya pelibatan organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai mitra strategis dalam menjangkau komunitas-komunitas terpencil.
Ia menilai bahwa ormas, terutama yang telah lama berakar di desa-desa, memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.
“Jaringan ormas ini sangat kuat, bahkan lebih dari yang dimiliki oleh pemerintah formal. Mereka bisa jadi ujung tombak untuk menjangkau wilayah yang sulit diakses oleh negara. Kita perlu sinergi yang lebih erat antara pemerintah dengan organisasi-organisasi ini,” sarannya.
Menurut Hamas, sinergi antara program pusat, pengawasan DPRD, dan peran aktif masyarakat sipil akan menjadi kekuatan kolektif yang sangat penting untuk mengatasi persoalan perlindungan perempuan dan anak secara menyeluruh, terutama di wilayah 3T.
Ia juga berharap agar pendekatan kolaboratif ini bisa menjadi model pelaksanaan program pembangunan lainnya di Kalimantan Timur, mengingat tantangan daerah yang sangat beragam.
Ia menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah, DPRD, masyarakat sipil, hingga tokoh adat dan tokoh agama, untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.
Menurutnya, isu ini bukan hanya urusan satu kementerian atau satu institusi, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif bangsa.
“Perempuan dan anak adalah pilar masa depan. Melindungi mereka adalah melindungi masa depan Kalimantan Timur dan Indonesia,” pungkasnya.