Banua Tv, Sangatta – Permasalahan agraria kembali mencuat di wilayah Kalimantan Timur. Kali ini, sorotan tertuju pada sengketa lahan yang melibatkan salah satu perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dengan dua kelompok tani yang berada di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, yakni Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan dan Kelompok Tani Multi Guna.
Kelompok tani tersebut menyampaikan klaim atas sebagian lahan yang saat ini masuk dalam wilayah operasional PT KPC. Mereka menduga perusahaan tidak memiliki itikad baik dalam menuntaskan proses pembebasan lahan, yang menurut mereka adalah hak milik yang sah. Berbagai mediasi telah ditempuh, mulai dari tingkat desa hingga kecamatan dan juga melalui kepolisian sektor setempat, namun belum ada titik temu yang memuaskan bagi para pihak. Merasa tidak mendapatkan keadilan, para perwakilan kelompok tani akhirnya menyampaikan laporan resmi kepada DPRD Kalimantan Timur, yang kemudian ditanggapi oleh Komisi I DPRD sebagai komisi yang membidangi urusan hukum dan pemerintahan.
Menanggapi laporan tersebut, Komisi I langsung menggelar pertemuan dengan manajemen PT KPC untuk menggali klarifikasi serta penjelasan rinci dari pihak perusahaan. Pertemuan ini menjadi langkah awal dari upaya pendalaman yang lebih luas terhadap sengketa agraria yang tengah berkembang di lapangan.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyampaikan bahwa dalam pertemuan tersebut pihak manajemen PT KPC memberikan berbagai dokumen dan data pendukung, termasuk kronologi kepemilikan lahan, tahapan penyelesaian yang telah dilakukan sebelumnya, serta bukti administratif terkait proses pembebasan lahan.
Menurut penjelasan dari manajemen PT KPC, perusahaan telah melaksanakan pembebasan lahan sejak lebih dari satu dekade lalu, yakni sekitar tahun 2011, terhadap pihak-pihak yang dinilai memiliki bukti penguasaan yang sah secara hukum. Namun, lahan yang saat ini diklaim oleh kelompok tani rupanya sebagian telah dibebaskan sebelumnya kepada pihak lain, dan sebagian lagi bahkan disebut masuk dalam wilayah pembangunan fasilitas pemerintahan Kabupaten Kutai Timur.
“Dalam pemaparan yang disampaikan manajemen PT KPC, ditemukan bahwa sebagian klaim dari kelompok tani bersinggungan dengan wilayah perkantoran pemerintah yang semestinya bukan merupakan objek kepemilikan pribadi. Oleh karena itu, hal ini memerlukan pendalaman lebih lanjut agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengambilan keputusan,” ujar Salehuddin.
Ia menambahkan bahwa saat ini belum dapat ditarik kesimpulan akhir dari hasil klarifikasi tersebut karena data yang diterima baru berasal dari satu pihak. Oleh karena itu, pihak Komisi I berkomitmen untuk segera menjadwalkan pertemuan lanjutan dengan pihak kelompok tani agar informasi yang diperoleh lebih lengkap, berimbang, dan objektif.
“Kita akan memastikan bahwa baik pihak perusahaan maupun masyarakat diberikan ruang untuk menyampaikan argumennya. Jika diperlukan, Komisi I juga siap mempertemukan kedua belah pihak dalam satu forum bersama instansi terkait guna mencari jalan keluar yang adil dan menyeluruh,” ungkap politisi dari Partai Golkar itu.
Di sisi lain, Manajer Land Management PT KPC, Bambang, memberikan penjelasan bahwa pihaknya selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap proses pembebasan lahan. Ia menyebut bahwa proses dilakukan melalui prosedur formal, mulai dari verifikasi di tingkat RT, kepala dusun, hingga kepala desa, dan semua transaksi dibuktikan dengan akta jual beli yang disahkan oleh notaris.
“Kami tidak ingin merugikan siapapun. Selama klaim tersebut diakui oleh pejabat desa dan disertai saksi-saksi yang sah, maka perusahaan pasti akan memenuhi hak masyarakat,” tegas Bambang.
Namun ia juga mengungkapkan bahwa terdapat permasalahan internal di tubuh kelompok tani itu sendiri, khususnya dalam hal klaim tumpang tindih. Sebagai contoh, dalam Kelompok Tani Multi Guna terdapat beberapa versi kepemilikan lahan yang diajukan oleh individu berbeda, antara lain David, La Pada, Fatimah, dan Christopher Blegur. Menurut Bambang, Christopher awalnya merupakan kuasa dari seorang tokoh bernama Rahman Salim, namun setelah Rahman wafat, Christopher mengklaim sebagai pemilik langsung atas lahan seluas sekitar 400 hektare yang berada di Desa Swarga Bara.
Perusahaan mengklaim bahwa sebagian besar dari lahan tersebut sebenarnya telah dibebaskan sebelumnya kepada pihak lain dengan dokumen hukum yang lebih kuat. Atas dasar keraguan terhadap legalitas dokumen yang diajukan oleh Christopher, pihak perusahaan telah melaporkan dugaan manipulasi dokumen ke aparat kepolisian dan saat ini proses penyelidikan sedang berjalan.
Sementara itu, Manajemen PT KPC lainnya, Jarot, juga menjelaskan bahwa klaim yang diajukan oleh Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan turut menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, area yang diklaim oleh kelompok tersebut saat ini telah difungsikan sebagai perkantoran milik pemerintah daerah. Mediasi telah dilakukan di beberapa titik, termasuk Polsek Bengalon dan Kantor Desa Tebangan Lembak, namun belum ada hasil yang memuaskan, sehingga kedua belah pihak dianjurkan untuk menempuh jalur hukum agar dapat memperoleh kejelasan hukum secara formal.
Dengan mencuatnya kasus ini, Komisi I DPRD Kaltim menegaskan akan terus memantau dan menindaklanjuti perkembangan kasus sengketa ini hingga ditemukan penyelesaian yang adil. Pendekatan hukum, klarifikasi data, serta mediasi terbuka akan menjadi instrumen utama dalam menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, demi menjaga iklim investasi yang sehat sekaligus melindungi hak-hak masyarakat.

in DPRD Kaltim, Kaltim