Oleh: Syaipul Adhar, ME
Banyak Pemda, sedang gemar menabung dan menyimpan uang. Terlalu rajin malah. Kalsel misalnya, data BPKAD Kalsel per 10 November 2025, Empat SKPD besar mencatat total belanja sebesar Rp 5,82 triliun, namun realisasi baru mencapai Rp 2,53 triliun atau sekitar 43 persen. Artinya, masih ada selisih realisasi sekitar Rp 3,28 triliun. Bahkan, Menurut DPRD kalsel, akan ada SILPA 2025 (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) sekitar 1, 2 T. Sebelumnya terungkap oleh Menkeu, ada sekitar 5 T anggaran yang nganggur dipositokan.
Silpa dan Deposito mestinya dipandang sebagai budget policy. Seharusnya, Silpa hadir sebagai buah dari proses efisiensi dan perolehan PAD yang melebihi target, bukan dari belanja proyek yang dicoret. Kebijakan saving anggaran harusnya diambil dari fortofolio BUMD, yang tidak mengganggu arus kas. Dampaknya akan berbeda.
Termasuk ketaatan pada proses perencanaan yang dibahas berjenjang dengan mekanisme musrembang. Bahkan, ada pengesahan oleh DPRD. Lalu, kenapa legislatif diam saja? Bisa jadi tidak faham atau perpektifnya juga sama. Silpa dan saldo Adalah profit.
PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 sebenarnya cukup jelas, penempatan dana dalam deposito adalah bagian dari manajemen kas, bukan instrumen menghasilkan pendapatan. Tidak ada satu pasal pun yang mendorong daerah menahan kas untuk mendapatkan bunga.
Tidak ada arahan yang meminta saldo besar di akhir tahun. Bahkan sebaliknya, untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), pemerintah pusat menerapkan penalti apabila daerah tidak mampu menyerapnya. Artinya, dalam tata kelola nasional, pemerintah pusat menginginkan percepatan belanja produktif, bukan penumpukan saldo. Angkanya memang sah menurut aturan. Tapi sah tidak selalu berarti sehat.
Masalahnya sederhana, Pemda bukanlah perusahaan. Tapi banyak kepala daerah dan sebagian pejabatnya terlanjur nyaman memakai kacamata ala korporasi. Mereka melihat saldo besar sebagai prestasi, dan bunga deposito sebagai “pemasukan tambahan”.
Bunga deposito itu muncul bukan karena kerja keras birokrasi, tetapi karena kerja diam. Dan ketika bunga muncul, semua bangga. Ada yang menganggap itu PAD. Ada pula yang menjadikannya bahan konferensi pers. Padahal, dalam ilmu keuangan publik, kategorinya bukanlah prestasi. Itu bisa jadi anomali. Saya percaya, , banyak kepala daerah tidak memahami ini dengan baik. Bukan karena niat jahat, tapi femahaman yang keliru.
Akhirnya, yang terliat publik adalah Pemda sedang berlomba menjadi investor paling gesit di pasar perbankan. Berburu rente. Termasuk rebutan saham pengendali dibank plat merah. Akibatnya, dana publik tidak mengalir. Karena pembangunan berhenti dan menunggu.
Ujungnya, Lelang terpaksa molor. Apa jadinya, jika tender dilakukan Ketika sisa 2 bulan akhir periode anggaran? Akan ada bangunan fisik yang dikebut, ada pengadaan jasa yang kehilangan syarat penting kualitas barang.
Kita lupa, uang publik punya umur manfaat. Ia hanya bernilai jika cepat berubah menjadi layanan, fasilitas, dan pembangunan. Setiap rupiah yang tidak dibelanjakan tepat waktu akan kehilangan nilai. Konsepnya jelas dalam ekonomi, opportunity cost.
Sialnya, Birokrasi justru memilih aman daripada cepat. Proyek ditahan dulu, pengadaan menunggu “kondisi tabungan cuan”. Padahal cuan itu fatamorgana.
Model ini persis seperti yang digambarkan William Niskanen dalam teori bureaucratic behavior—birokrasi lebih takut salah daripada ingin benar. Harga yang harus dibayar adalah, Kontraktor kehilangan pekerjaan. UMKM kehilangan pesanan. Layanan publik kehilangan percepatan. Semua kehilangan momentum.
Dan lupa teori dasar, diakhir tahun pasar akan bergejolak, inflasi akan sulit dikontrol. Lalu yang terjadi, bukan sekedar “penyerapan rendah”. Itu tanda bahwa mesin birokrasi berjalan dengan resistensi tinggi. Seperti mesin tua yang dipaksa mendaki, asapnya lebih banyak dari lajunya.
Ini jelas problem tata kelola, bukan problem angka. Karena manajemen keuangan daerah berbeda dari Perusahaan. Keduanya punya tujuan yang sama sekali lain. Pemerintah bergerak bukan berdasar margin, tetapi untuk mengalirkan manfaat.
Seringkali, birokrasi salah kaprah, deposito dianggap strategi keuangan. Padahal posisinya hanya alat. Fungsinya tidak lebih dari rest area uang, sebelum menjalankan tugasnya yang sesungguhnya, yakni dibelanjakan. Ironisnya, Pemerintah daerah yang berbangga dengan bunga depositonya, terlihat seperti sopir yang bangga karena busnya parkir paling lama di terminal.
Lalu, ketika masyarakat bertanya, mengapa pembangunan lambat? Jawabannya mungkin ada di ruang kas daerah. Uangnya ada, tapi tidak bergerak. Ia disimpan. Dijaga. Diamankan. Padahal publik membayar pajak dan negara mentransfer dana agar uang itu bergerak, bukan tidur dalam rekening berjangka.
Kalsel menjadi contoh menarik, daerah dengan APBD besar, kapasitas fiskal lumayan, tetapi penyerapan lambat. Setiap tahun isu yang sama muncul. Setiap tahun juga saldo kas besar kembali dipuji. Padahal dalam teori public value, keberhasilan pemerintah bukan pada saldo akhir, tetapi pada dampak akhirnya. Pada manfaat pembangunan. Pada hasil yang dirasakan orang banyak.
Deposito hanya menguntungkan pemerintah dalam bentuk bunga, tetapi merugikan publik dalam bentuk waktu yang hilang. Dan waktu yang hilang dalam pembangunan adalah kerugian paling mahal. Tidak ada bunga bank yang bisa menutupinya.
Dalam teori keuangan publik, ada istilah value of money. Value of money menjelaskan bahwa nilai uang menurun bukan hanya oleh inflasi, tetapi juga oleh ketertinggalan manfaat. Bila sebuah proyek air bersih tertunda enam bulan, maka enam bulan itu adalah nilai yang hilang. Tidak ada bunga deposito yang mampu mengembalikan hilangnya manfaat itu.
Birokrasi yang modern tidak bangga pada saldo. Ia bangga pada eksekusi. Pada ketepatan waktu. Pada keberanian membuat perencanaan yang serius dan melaksanakannya tanpa menunda. Pada manajemen risiko, bukan manajemen parkir dana.
Masyarakat butuh pemerintah yang tidak hanya lihai menabung. Mereka butuh yang lihai bekerja. Terutama ketika dana sudah tersedia, proyek sudah direncanakan, dan kebutuhan publik mendesak. Deposito bukan prestasi. Itu tanda bahwa ada pekerjaan yang belum selesai.
Dan kalau kita terus memelihara salah kaprah ini, jangan-jangan suatu saat nanti kita bukan lagi berbicara tentang “dana idle”, tetapi tentang pembangunan yang idle. Dan itu jauh lebih berbahaya.
Fenomena ini bukan hanya khas Kalsel. Banyak pemerintah daerah di Indonesia mengalami gejala serupa: saldo tinggi, belanja rendah. Namun setiap daerah tetap memiliki kisahnya sendiri. Saya yakin, pola ini sudah berlangsung lama.
Seolah Deposito menjadi penghibur yang elegan. Angkanya rapi. Bunga mengalir. Laporan keuangan akan terlihat “aman”. Tetapi dalam keuangan publik, tidak semua yang terlihat aman adalah benar. Bunga deposito bukanlah PAD, Ia hanya kompensasi dari uang yang belum melakukan tugasnya. Padahal tugas uang publik hanya satu: kembali kepada publik.
Masalahnya, sebagian pejabat terlanjur melihat saldo tinggi sebagai tanda kedisiplinan fiskal. Selalu ada penghargaan diam-diam terhadap angka besar. Padahal saldo yang terlalu besar sering kali bukan buah dari kecermatan, melainkan buah dari jeda perencanaan, jeda pengadaan, jeda keputusan. Seluruh jeda itu berwujud dalam angka yang diam.
Bagi seorang manajer perusahaan, saldo besar bisa berarti peluang. Tetapi bagi pemerintah daerah, saldo besar berarti pekerjaan yang belum selesai. Kita mungkin lupa bahwa uang publik memiliki waktu. Ia lahir untuk segera kembali kepada rakyat.
Kalsel, dengan segala potensi dan kapasitas fiskalnya, membutuhkan pemerintah yang bergerak seirama dengan kebutuhan masyarakatnya. Bukan pemerintah yang ingin terlihat hemat, tetapi pemerintah yang memahami bahwa penghematan dan penundaan adalah dua hal yang berbeda. Yang satu lahir dari kehati-hatian, yang lain lahir dari ketidakpastian. Dan ketidakpastian adalah musuh terbesar pembangunan.
Elegan memang, melihat saldo kas tersusun rapi. Tetapi elegan juga harus diukur dari cara pemerintah mengubah anggaran menjadi perubahan nyata. Elegan ketika belanja publik tepat waktu. Elegan ketika program berjalan sesuai kalender. Elegan ketika pelayanan tidak menunggu akhir tahun untuk berlari.
Dan mungkin di situlah letak renungan paling penting bagi kita di Kalsel: apakah kita mau terus mendengar suara sunyi itu? Atau mulai bertanya, mengapa pembangunan berjalan pelan sementara kas berbunyi nyaring?
Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan pemerintah bukan terletak pada berapa besar saldo yang tersisa, tetapi pada seberapa besar perubahan yang dirasakan masyarakat. Uang publik tidak diciptakan untuk disimpan. Ia diciptakan untuk bergerak. Apalagi menghasilkan rente.


