Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Borneo Kalimantan, M. Irfan Fajrianur.
in ,

LPK Borneo Kalimantan: Bank Dilarang Tambah Bunga Setelah Kredit Macet

Banua Tv – Lembaga Perlindungan Konsumen Borneo Kalimantan menilai Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2899 K/Pdt/1994 merupakan fondasi penting dalam membatasi praktik perbankan yang berpotensi merugikan debitur.

Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Borneo Kalimantan, M. Irfan Fajrianur, menegaskan bahwa putusan MA tersebut melarang bank untuk menambah bunga ataupun denda setelah menyatakan suatu kredit berstatus macet (non-performing loan).

“Putusan MA 2899 K/Pdt/1994 sangat jelas. Ketika bank sudah menetapkan suatu kredit sebagai kredit macet, maka kredit itu harus berstatus status quo. Bank tidak boleh lagi menambah jumlah utang debitur dengan bunga, apalagi denda,” ujarnya.

Irfan menyebut, meski putusan tersebut terbit pada 1996, hingga kini masih sangat relevan dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Menurut Irfan, putusan itu berperan penting dalam menyeimbangkan hak antara bank sebagai pelaku usaha dan debitur sebagai konsumen.

Ia menjelaskan bahwa praktik bank yang terus mengakumulasi bunga setelah kredit macet seringkali membuat utang pokok membengkak tidak wajar.

“Putusan MA 2899 K/Pdt/1994 hadir sebagai koreksi atas praktik yang dinilai tidak patut dan bertentangan dengan rasa keadilan. Logika hukumnya adalah, jika kredit sudah macet, artinya pihak bank sudah menghentikan pemberian fasilitas kredit dan menganggapnya sebagai kerugian, maka risiko bank harus diukur dan dibatasi, tidak serta-merta terus ditimpakan kepada debitur tanpa batas waktu,” tegas Irfan.

Menurutnya, ketika bank menetapkan status macet, seharusnya terdapat kepastian mengenai batas kewajiban debitur.

“Putusan MA 2899 K/Pdt/1994 memberikan kepastian bahwa total kewajiban debitur haruslah berhenti pada saat bank memutuskan untuk mencatat kredit tersebut sebagai macet,” jelasnya.

Irfan menambahkan bahwa bank wajib transparan dan beritikad baik dalam menyampaikan kondisi riil utang nasabah.

Irfan menyoroti praktik perjanjian kredit yang umumnya menggunakan klausula baku, yang seringkali membuat posisi debitur lemah.

“Klausula yang memungkinkan bunga berjalan tanpa batas setelah macet dapat dikategorikan sebagai klausula yang merugikan konsumen. UUPK tegas melarang hal tersebut,” katanya.

Irfan menekankan bahwa putusan MA ini harus disikapi secara arif oleh kedua belah pihak.

Ia meminta debitur tetap kooperatif dalam menyelesaikan kewajiban.

“Jika kredit sudah dinyatakan macet, pastikan secara tertulis tanggal penetapan status macet tersebut. Debitur berhak menolak penagihan bunga tambahan setelah tanggal tersebut dengan mengacu pada Putusan MA 2899 K/Pdt/1994,” u,jarnya.

Irfan menegaskan pentingnya bank menerapkan prinsip humanis dalam penanganan kredit macet.

“Bank harus menerapkan status quo secara tepat waktu dan memprioritaskan restrukturisasi yang solutif. Jangan menjadikan pembengkakan bunga sebagai cara penyelesaian,” tuturnya.

Bank juga diminta meningkatkan edukasi kepada nasabah terkait risiko dan kewajiban kredit.

Irfan menilai putusan MA 2899 K/Pdt/1994 perlu terus disosialisasikan agar masyarakat memahami haknya, dan perbankan menerapkan kebijakan yang lebih berimbang.

Tinggalkan Balasan

UMKM Balangan Dapat Dukungan Pemerintah, Pelatihan Digital Jadi Modal Hadapi Persaingan

Pemkab Banjar Bahas Tiga Raperda Penting, Pengelolaan Sampah hingga Karhutla Disinkronkan