Kartina, S.Pd., M.Sc Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Biologi UGM, dan juga Dosen Program Studi Akuakultur, Fakultas Perikanan Universitas Borneo Tarakan. Foto: Koleksi Pribadi
in

Mikroalga, Solusi untuk Netralitas Karbon dan Ekonomi Hijau

Oleh: Kartina, S.Pd., M.Sc

Mahasiswa Program Doktor, Fakultas Biologi UGM

Dosen Program Studi Akuakultur, Fakultas Perikanan Universitas Borneo Tarakan

Sebagai peneliti yang tertarik dalam meneliti mikroalga beberapa tahun belakangan, saya melihat makhluk kecil ini bukan sekadar organisme air, tetapi mesin alami yang bisa membantu bumi bernafas.

Krisis iklim kini tak lagi menjadi ancaman di kejauhan, ia nyata di sekitar kita. Cuaca ekstrem, gelombang panas, kekeringan panjang, hingga naiknya permukaan laut menjadi tanda bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Aktivitas penggunaan bahan bakar fosil yang semakin tinggi, deforestasi yang semakin meluas merupakan penyebab meningkatnya emisi karbon dioksida (CO₂) di atmosfer.

Untuk menekan laju pemanasan global, dunia berkomitmen mencapai net zero emission (NZE). NZE merupakan suatu kondisi di mana jumlah gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer seimbang dengan yang diserap kembali oleh alam, seperti oleh hutan dan lautan. 

Target global ini ditetapkan untuk dicapai tahun 2050, sebagaimana direkomendasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Jika target ini tercapai, kenaikan suhu bumi dapat ditekan hingga 1,5°C. Namun jika terlambat, suhu bisa melonjak hingga 2°C atau lebih, membawa dampak yang jauh lebih berat bagi kehidupan manusia.

Bagaimana Indonesia menghadapi fenomena tersebut?

Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, pemerintah menetapkan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon sebagai upaya pengendalian emisi GRK dalam pembangunan nasional. Namun untuk benar-benar menekan emisi, kebijakan tersebut perlu didukung oleh strategi yang inovatif, berkelanjutan, dan efisien. 

Beberapa upaya telah dilakukan mulai seperti transisi energi bersih, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, inovasi dibidang indsutri dan transportasi, maupun melalui pendanaan hijau dan kebijakan ekonomi rendah karbon. Namun ada satu solusi menjanjikan datang dari makhluk kecil yang sering luput dari perhatian yaitu mikroalga.

Mikroalga: “Mesin hijau” penyerap karbon

Mikroalga adalah organisme mikroskopis yang hidup di air tawar maupun air laut dan berperan besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi. 

Mikroalga dikenal sebagai “mesin hijau” alami karena mampu menyerap karbon dioksida jauh lebih cepat dibanding tumbuhan darat. 

Melalui proses fotosintesis, mikroalga mengubah CO₂ menjadi biomassa. Dalam kondisi ideal, tumbuhan darat hanya mampu menyerap sekitar 3–6 persen emisi karbon, sementara mikroalga bisa 10–50 kali lipat lebih efisien per satuan luas. Bahkan, setiap gram biomassa mikroalga dapat mengikat hingga 1,83 gram CO₂.

Bayangkan, jika mikroalga dibudidayakan pada area sekitar 100.000 km², kemampuannya bisa mencapai penyerapan 2,35 gigaton CO₂ per tahun, setara dengan ratusan juta ton karbon yang berhasil “disedot” dari atmosfer. 

Dengan produktivitas biomassa mencapai 280 ton kering per hektar per tahun, tak heran jika mikroalga disebut sebagai kandidat kuat untuk menjadi biological carbon sink di era dekarbonisasi global. 

Selain menyerap karbon, mikroalga juga menghasilkan oksigen dalam jumlah besar. Diperkirakan, sekitar 50% oksigen di atmosfer bumi berasal dari mikroalga diperairan darat maupun di laut. Dengan kata lain, separuh napas kita hari ini adalah hadiah dari mikroorganisme kecil ini.

Lebih dari Penyerap Karbon: Mikroalga sebagai “Pabrik Hidup”

Keunggulan mikroalga tidak berhenti pada kemampuannya mengikat karbon. Mereka juga berfungsi sebagai “pabrik biologis” serbaguna karena mampu mengubah CO₂ menjadi berbagai produk bernilai ekonomi tinggi. Biomassa mikroalga dapat diolah menjadi:

1. Bahan bakar hayati seperti biodiesel dan biokerosene

2. Sumber protein alternatif untuk pangan dan pakan

3. Sebagai bahan baku kosmetik, farmasi, dan bioplastik

Artinya, selain membantu bumi bernafas lega, mikroalga juga membuka peluang ekonomi hijau yang berkelanjutan. Inilah yang menjadikannya sejalan dengan konsep Carbon Capture Utilization (CCU) bukan hanya menangkap karbon, tapi juga memanfaatkannya menjadi produk bernilai tambah secara ekonomi.

Mikroalga tidak memerlukan lahan subur atau air tawar dalam jumlah besar. Banyak spesies mampu tumbuh di air laut, air payau, atau bahkan air limbah, sehingga tidak bersaing dengan sektor pertanian pangan. 

Mikroalga bahkan bisa dikembangkan di dekat industri penghasil CO₂ seperti pabrik semen, pembangkit listrik, atau industri fermentasi, memanfaatkan gas buang langsung sebagai sumber karbon untuk tumbuh.

Tantangan Implementasi di Lapangan

Meski potensinya besar, penerapan teknologi berbasis mikroalga belum berkembang luas. Beberapa hambatan utama yang masih harus diatasi adalah:

 – Biaya produksi tinggi.

Sistem kultur tertutup (photobireactor) memang efisien, tetapi membutuhkan investasi dan biaya operasional tinggi. Kultur terbuka cenderung lebih murah, namun masih menghadapi tantangan yaitu rentan terhadap kontaminasi sehingga kurang efisien.

– Kebutuhan sumber daya.

Budidaya skala besar memerlukan pasokan nitrogen dan fosfat dalam jumlah besar. Jika tidak dikelola dengan limbah atau sumber non-konvensional justru dapat menciptakan beban lingkungan baru.

– Belum terintegrasi dalam kebijakan karbon nasional.

Di Indonesia, proyek berbasis mikroalga belum sepenuhnya masuk dalam carbon credit. Tanpa insentif ekonomi, maka minat investasi rendah.

– Aspek keberlanjutan energi.

Jika proses produksi biomassa masih bergantung pada energi fosil, manfaat lingkungan bisa berkurang. Maka dari itu, integrasi dengan energi terbarukan menjadi kunci agar sistem ini benar-benar beremisi nol.

Arah Riset dan Inovasi ke Depan

Untuk menjadikan mikroalga sebagai solusi nyata dalam mitigasi karbon, beberapa langkah inovatif perlu diperkuat melalui:

 1. Pemilihan dan rekayasa strain unggul. Strain mikroalga dengan efisiensi fotosintesis tinggi, toleran terhadap suhu ekstrem, dan memiliki kandungan lipid atau karbohidrat tinggi menjadi fokus utama penelitian.

2. Pemanfaatan limbah sebagai sumber nutrisi. Integrasi kultur mikroalga dengan air limbah domestik atau industri dapat menekan biaya dan sekaligus memberikan manfaat ganda: wastewater treatment dan penyerapan karbon.

3. Digitalisasi dan teknologi pintar. Penggunaan sensor, artificial intelligence, dan sistem pemantauan otomatis dapat mengiptimalkan produktivitas mikroalga. Beberapa riset juga menggabungkan fotobioreaktor dengan panel surya untuk memanfaatkan energi bersih.

4. Kebijakan dan dukungan ekonomi hijau. Dukungan regulasi dan pengakuan mikroalga sebagai bagian dari carbon offset mechanism akan mempercepat investasi sektor swasta dalam pengembangan teknologi ini disektor industri.

Menuju Masa Depan Karbon Netral

Mikroalga menawarkan satu paket solusi: menyerap karbon, memproduksi oksigen, memurnikan limbah, dan menciptakan peluang ekonomi hijau. 

Mikroalga mungkin kecil secara ukuran, tetapi dampaknya sangat besar bagi masa depan planet ini. Dengan riset yang berkelanjutan, dukungan kebijakan yang visioner, dan kolaborasi lintas sektor, mikroalga bisa menjadi penjembatan antara aksi iklim dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 

Mungkin mikroalga bukan satu-satunya jawaban untuk krisis iklim, tetapi tanpa peran kecilnya, upaya menuju dunia yang lebih bersih dan hijau akan terasa kurang lengkap. Dari “pabrik hidup” inilah, harapan baru untuk bumi yang lebih sejuk bisa tumbuh.

Tinggalkan Balasan

Disperkim Kalsel Genjot Percepatan Penyerahan PSU Perumahan di Kabupaten Banjar

Florarium Hadir di Amanah Borneo Park, Tawarkan Rekreasi Edukatif Bernuansa Alam