Banua Tv, Kutai Kartanegara – Ratusan peserta dari berbagai wilayah berkumpul di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN) VIII.

Rakernas kali ini mengusung tema, “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak”.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi menyoroti situasi nasional yang kian represif terhadap Masyarakat Adat.
AMAN mencatat 110 kasus yang melibatkan komunitas adat sepanjang Januari–Maret 2025. Pada 2024, tercatat 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare yang menimpa 140 komunitas.
Rukka sebut Kalimantan Timur jadi contoh situasi genting ini. Dimana dua orang Masyarakat Adat Muara Kate menjadi korban kekerasan saat memprotes penggunaan jalan umum oleh truk tambang milik PT Mantimin Coal Mining (MCM). Leher keduanya disayat, satu diantaranya meninggal dunia, di Sepaku, Suku Balik terdesak akibat proyek IKN, di Paser, hutan mangrove Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk pembangunan stockpile batubara, adapun di Kedang Ipil, masyarakat berkukuh mempertahankan hutan adat dari ekspansi perkebunan sawit.
Menurut Rukka, situasi ini bisa makin memburuk usai penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Prabowo Subianto, dan pengesahan revisi UU TNI.
“Kebijakan itu memperkuat watak militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat,” kata Rukka.
Di sisi lain, konstitusi sudah mengakui hak-hak Masyarakat Adat, tapi hingga hari ini belum ada operasionalisasi yang jelas. Aturan tentang Masyarakat Adat tercecer di berbagai undang-undang ibarat tubuh yang diatur oleh kepala, tangan, dan kaki yang tidak terhubung.
Ia juga menegaskan bahwa tindakan perampasan wilayah adat yang dianggap sah secara hukum belum tentu punya legitimasi, “Legal, but not legitimate.”
Rukka juga mengecam praktik kriminalisasi terhadap pejuang adat, serta regulasi yang memperkuat model pembangunan eksploitatif, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, UU Konservasi, dan kebijakan nilai ekonomi karbon.
“Kami yang menjaga hutan, tapi pihak lain yang menikmati keuntungannya,” katanya.
Namun, di tengah tekanan, Rukka menegaskan bahwa Masyarakat Adat tidak akan tinggal diam.
“Itulah resiliensi bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia telah mengakui bahwa keberlanjutan lingkungan tak lepas dari peran Masyarakat Adat,” tegas rukka
Ia menutup pidatonya dengan pengingat sejarah.
“AMAN lahir dari perlawanan terhadap militerisme Orde Baru. Hari ini, wajah penindasan mungkin berubah, tapi wataknya tetap sama. Dalam situasi ini, sahabat kita adalah alam semesta, leluhur, dan pencipta,” tutup rukka.
